Kalimat di atas adalah sebuah pernyataan. Terlihat sangat positif dan cukup optimis. Apakah demikian adanya?
Pernyataan. Untuk setiap pernyataan tentu ada konteksnya. Dalam hal ini adalah kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk yang sangat tinggi derajatnya diantara makhluk lain di Dunia ini Karena memiliki akal dan budi. Benarkah pernyataan itu?
Paparan Jawaban. Sepertinya benar (sepertinya masih asumsi). Mari kita coba cari buktinya. Kita tahu dari tataran spiritual, Manusia mempunyai kepercayaan bahwa Manusia itu tidak akan diberikan masalah jika tidak mampu mengatasinya. Kemudian dengan kemampuan Akal dan Budinya, manusia bisa berusaha mencari semua jawaban akan masalahnya. Usaha itu bisa dilakukan secara mandiri/sendiri, dengan meminta bantuan ataupun berusaha melakukan usaha berpasrah diri setelah semua usaha seperti tidak membuahkan hasil. Tidak membuahkan hasil bukan berarti masalah itu tidak ada solusinya, mungkin saja belum ketemu yang pas. Jadi Jangan mudah berputus asa. QED.
(ini kenapa jawabannya asumsi lagi semua orang positif thinking hehe)
Selamat berjumpa kembali! setelah vakum hampir satu tahun akhirnya saya berusaha dan mencoba untuk melakukan update blog ini.
Setiap tahun baru selalu dimulai dengan sesuatu yang disebut “Resolusi tahun baru”
Arti kata resolusi menurut KBBI adalah putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang). Resolusi juga berarti pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tentang suatu hal.
Dalam konteks RESOLUSI TAHUN BARU, maka arti resolusi akan merujuk pada definisi diatas yang digaris bawahi.
Jadi resolusi tahun baru saya adalah:
Berusaha membuat tulisan untuk blog ini secara reguler.
Memulai lagi lari pagi secara rutin atau paling tidak jalan kaki.
Publish (lagi) 1 aplikasi di Playstore.
Nge-gym (mulai besok aja)
Diet (mulai besok lusa aja)
Membuat resolusi setiap awal tahun. (recursive detected)
Semua hal diatas itu bukan hal baru, hanya sesuatu yang sudah tidak dilakukan lagi karena (sengaja) lupa.
Katanya status quo itu enak, jadi ngapain berubah?
Dunia sudah berubah. Sekarang ini suka atau tidak suka, perubahan terjadi setiap hari. Detik demi detik waktu berubah bukan? Jadi perbubahan itu suatu keniscayaan, tidak bisa dihindari. Tapi perubahan yang kecil tidak akan terasa (seperti waktu). Perubahan akan terasa kalau besar event-nya. Seperti pindah kerja, pindah rumah, berubah status atau apa saja yang besar atau berpengaruh besar bagi hidup masing-masing orang. Setelah perubahan pastinya orang akan berusaha menjadi normal (seperti biasa atau Business As Usual). Laksana air di bejana yang digoncang-goncang; awalnya akan beriak-riak hingga mungkin luber (atau tumpah). Tapi lama-lama akan tenang atau diam. Karena energi goncangannya habis atau teredam. Kalau sudah diam kemudian lama-lama menjadi status quo.
Memulai lagi. Cycle perubahan akan dimulai dari diri sendiri untuk memulainya tapi terkadang karena keadaan (baca: perubahan strategi bisni). Dengan perubahan besar orang akan kembali berlatih untuk beradaptasi. Jadi mari kita berlatih beradaptasi sendiri dengan cycle-nya masing-masing. Bisa 10 tahun sekali dengan renovasi rumah atau pindah rumah (baru), pindah kerja tiap 2/3 tahun sekali, atau apa saja yang dianggap sebagai perubahan signifikan.
itu adalah password untuk nonton YouTube di rumah saya. Jadi anak-anak harus self declare kalau mereka akan menonton YouTube dan orang tuanya akan mengontrol secara random yang ditonton.
Kids Zaman Now lebih suka nonton YouTube dibanding TV. Kenapa ya?
Anak-anak senang sekali nonton TV sebelum mengenal YouTube. Mereka akan beralih ke YouTube (setelah tahu apa itu YouTube) karena mereka sendiri yang kontrol materi yang akan ditonton. Kalau lagi senang nonton “My Little Poni” terus-terusan nonton similar content (seri yang lain) sampai bosan.
Tantangan untuk orang tua adalah materi yang ditonton itu tidak disensor dan bisa disusupi apa aja. Jalan terbaik adalah memberikan pengertian kepada anak dan menanamkan trust. Meminta mereka untuk bercerita content apa saja yang ditonton utk check and recheck.
Pribahasa ini sering menjadi rujukan untuk suatu kondisi dimana kita akan selalu salah jika menghadapi suatu pililhan. Jadi memang pribahasa ini sangat tidak mengenakkan.
Demikian juga kalau kita sudah berhadapan dengan asuransi terutama kesehatan. Ada kalanya kita akan mengalami mirip seperti peribahasa itu. Jika Anda peserta Asuransi kesehatan untuk rawat jalan & rawat inap dengan menggunakan kartu (biasanya asuransi kumpulan dari perusahaan) bisa jadi mengalami kondisi terjepit.
Pilihan sulit. Ada kalanya dokter akan merekomendasikan untuk rawat inap (dengan tentunya serentetan proses diagnosa sebelumnya, kemudian kita dihadapkan pada pilihan untuk ikuti saran dokter tersebut dengan tentunya akan memberikan pertanyaan klarifikasi mengapa hal tersebut dibutuhkan. Dengan adanya asuransi kesehatan rawat inap dan setelah pertimbangan akan rekomendasi dokter, kita akan mengikuti saran dokter tersebut. Dengan logika, dijamin asuransi dan rekomendasi dokter, apakah hal tersebut cukup sebagai sarat untuk memenuhi klaim? Tentunya tidak! Ada kalanya asuransi menolak klaim kita dengan alasan bahwa kurangnya indikasi medis untuk melakukan rawat inap sedangkan dokter dengan segala pengalamannya lebih tahu bagaimana kondisi pasien saat rekomendasi tersebut diberikan. Jadi peserta akan mengalamai kondisi jika tidak mengikuti rekomendasi yang diberikan dan terjadi apa-apa yang lebih jelek, akan disalahkan. Sedangkan begitu klaim ditolak karena ‘salah’ peserta dimana kondisi itu belum layak rawat inap.
Data. Antara dokter dan analis klaim memiliki gap yang hanya dijembatani dengan data. Masing-masing memiliki cara pandang berbeda dengan data yang sama, akhirnya yang jadi korban adalah peserta asuransi. Akan menjadi lebih repot untuk menjembatani antara keduanya. Masing-masing ‘merasa’ benar dan kembali pesertalah yang akhirnya karena ‘kelemahannya’ harus menjembatani gap ini.
Jadi kalau Anda sudah taat aturan, tidak ada kebijakan yang dilanggar, kemudian sudah cukup cerdas untuk mempertanyakan semua diagnosa dokter; mengikuti rekomendasi dokter belum tentu klaim anda diterima.
Prolog. Tulisan ini adalah penyerapan saya selama mengikuti salah satu sesi dalam rangka Rapat Kerja (Raker) Dewan Paroki Pleno (DPP) Santa Perawan Maria Ratu (SPMR) Blok Q Jakarta Selatan, di Wisma Erema Puncak pada tanggal 1 September 2016. Tulisan ini dibuat sangat telat karena penulisnya (sok) sibuk.
Sesi kali ini dibawakan oleh Rm. Mudji Sutrisno SJ sebagai salah satu tokoh kebudayaan yang sangat dihormati di tanah air ini. Hampir semua pengalaman beliau berhubungan dengan kebudayaan. Beliau bercerita bahwa baru saja pulang dari Malang menghadiri dan memberikan pidato kebudayaan dalam acara pesta budaya Singosari (Malang, Jawa Timur) dan Singaraja (Bali). Mereka mencoba mencari akar budaya dan kesamaan nama singo/singa.
Dalam sesi yang sangat berat kali ini Rm Mudji akan membahas tantangan membangun keluarga dalam himpitan budaya urban tentunya dari perspektif kebudayaan.
Disorientasi Nilai. Sekarang ini cukup sering kita melihat bagaimana pergeseran nila-nilai terjadi di masyarakat. Setiap hari kita melihat bagaimana nilai-nilai baik telah bergeser, seolah-olah yang baik menjadi luar biasa. Korupsi menjadi masif terjadi karena pergeseran nilai-nilai ini. Bahkan Pancasila yang dirumuskan oleh Bung Karno sebagai bagian dari rumusan kebudayaan telah mengalami reduksi dan pergeseran. Salah satu nilai dari Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab telah bergeser seiring dengan perkembangan cara berpikir orang bahwa segala sesuatu harus diukur dengan uang. Telah terjadi reduksi nilai-nilai estetik karena harus diukur dengan uang. Uang telah menjadi “berhala” yang baru. Dipuja oleh kebanyakan sebagai alat ukur. Ditambah dengan semangat yang sekarang banyak dianut oleh kebanyakan orang yaitu konsumerisme, telah menjauhkan nilai keadilan dan juga kemanusiaan yang beradab. Orang akan cenderung untuk mengikut jargon “I consume therefore I exist” (ICTIE) melupakan bahwa penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan juga perlu diperhatikan.
Kekuatan informasi/digital. Dengan adanya jaman informasi seperti sekarang ini yang sudah tidak terbendung, banyak orang-orang dengan sukarela dan senang hati mempersilakan budaya baru untuk masuk kedalam kehidupannya. Dengan tuntutan budaya ICTIE ini, dengan mudahnya guru-guru baru dalam kehidupan kita telah tumbuh. Bagaimana generasi-generasi sekarang kehilangan arti “guru” yang sebenarnya. Guru yang baik adalah yang memberikan nilai-nilai kehidupan terhadap apa yang diajarkan bukan sekedar mengajarkan hal-hal yang ada seperti yang dilakukan oleh Google atau sumber informasi digital lainnya. Telah terjadi reduksi nilai-nilai belajar, orang hanya mengejar skill tetapi bukan menghayati bahwa belajar adalah proses bukan hasil.
Belajar itu proses. Orang jadi lupa bahwa dalam proses belajar itu ada juga proses bertutur dan bercerita mengenai sejarah. Bagaimana nilai-nilai itu ada dan terbentuk. Sekarang ini orang cenderung untuk ahistoris (melupakan sejarah) karena tidak mau/malas melihat proses. Semua harus instan untuk mendapatkan hasil. Ini yang membuat budaya instan ini sekarang menjadi suatu yang keniscayaan didalam kehidupan kita. Telah terjadi juga reduksi terhadap proses itu sendiri, yang berimplikasi terjadi budaya ahistoris.
Bagaimana kita menghadapi ini? Pertanyaan ini menjadi sangat valid dengan kondisi yang terjadi sekarang ini (yang dijelaskan diatas). Sebagai bagian dari orang-orang yang hidup dalam budaya urban ini, tentunya ada beberapa hal yang bisa kita lakukan sehingga kita dapat kembali menemukan kehidupan yang selaras dan seimbang serta tidak terbawa dalam budaya urban.
Sintesis dan Osmosis. Sebagai makhluk pembelajar, tentu kita bisa belajar melihat nilai-nilai (tesis-tesis) yang baik bagi kehidupan kita. Menyaring kembali nilai-nilai yang ada dan memberikan nilai-nilai baik sehingga menjadi tesis yang baru yang bernilai bagi kemanuasiaan. Memegang teguh prinsip hidup yang baik adalah suatu keharusan, tetapi tetap fleksibel dalam menjalankan prinsip hidup tersebut. Terkadang cara-cara pelaksanaan harus menjadi lebih kreatif.
Kehidupan spiritual berkelanjutan. Dalam kebudayaan urban, hidup menurut pasar (mengejar ambisi pribadi/bekerja) dilakukan oleh manusia dari Senin-Jumat (selama hari bekerja). Hidup spiritual itu hanya dilakukan sewaktu (Sabtu/Minggu) ketika ritual agama/spritualitas dilakukan. Kehidupan spritiual itu harus berkelanjutan dan harus “dipaksakan” sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Budaya urban telah memisahkannya, padahal kehidupan spiritual itu adalah proses dimana kita kembali kepada nilai-nilai sakral akan kehidupan sehingga hidup akan menjadi lebih bermakna. Kehidupan itu jauh lebih dalam dari sekedar mencari nafkah dan mengejar hal-hal duniawi. Manusia telah menjadi mahluk yang mulia dengan kemampuan memberikan makna pada kehidupannya. Jika kehidupan tidak bermakna dan bernilai akan menjauhkan manusia dari kodratnya, dia menjadi fauna. Human is meaning seeking animal. Be human not animal. Untuk itu lakukan dan berikanlah waktu hidup Anda untuk melakukan hening dan memberikan nilai spiritual kepada hidup Anda dan menemukan kembali makna yang lebih dalam hidup Anda.
Katanya Indonesia punya banyak kelas menengah dan dalam kurun waktu 10 tahun ada sekitar 93 juta jiwa. Terutama di Jakarta, banyak kelas menengah adalah golongan pekerja yang mempunyai taraf hidup diatas rata-rata penghasilan serta memiliki hobi yang hype seperti jalan-jalan keluar negeri, belanja barang-barang ber-merk dan punya rumah/apartment di cluster yang hype juga. Karena sering jalan-jalan keluar negeri atau bekerja di perusahaan asing (sering berhubungan bisnis dengan perusahaan manca Negara), sering memakai bahasa asing. Untuk itu sudah terbiasa berkomunikasi dengan bahasa asing tersebut sampai untuk yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak, sudah mulai mengenalkan bahasa tersebut ke generasi penerusnya. Dengan berbagai motif termasuk supaya anaknya lebih siap untuk bersaing dan terbiasa berbicara dengan bahasa asing tersebut. Sampai urusan sekolah juga harus menyekolahkan anaknya di sekolah yang multi language. Sangat kompetitif. Tidak ada yang salah dengan cita-cita mulia orang tua untuk anaknya. Semuanya harus yang terbaik untuk anaknya.
Bahasa Ibu. Ada satu yang dilupakan, bahwa manusia dilahirkan dengan kodrat memiliki bahasa ibu, dimana anak akan berkomunikasi dan berpikir dengan kerangka bahasa ibu tersebut. Bahasa inilah yang dipunyai pertama kali untuk belajar untuk proses selanjutnya. Jadi menurut saya, bahasa ibu itu sangat penting termasuk sebagai salah satu identitas bagi yang bersangkutan. Sebagai orang Indonesia, Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan dan juga identitas Negara. Jadi bahasa menunjukkan bangsa ada benarnya. Tidak ada yang salah dengan mengajarkan bahasa asing sejak kecil, selama Anda tinggal dan hidup dengan bahasa asing itu untuk seterusnya karena bagaimanapun sebagai warga Negara harus memiliki kemampuan berbicara dengan bahasa yang diakui oleh negaranya. Banyak kelas menengah yang lupa bahwa mereka dulu juga belajar bahasa asing setelah menguasai bahasa negaranya. Jadi belajar bahasa asing bisa dilakukan setelah anak mempunyai bahasa ibu.
Outsourced nation. Sebagai kelas menengah sering sibuk mengejar karir demi mempersiapkan masa depan anak atau generasi penerusnya. Mempersiapkan dana untuk memberikan yang terbaiknya tetapi lupa dengan menyerahkan pendidikan dan pendampingan anaknya di-outsource ke pihak ketiga (suster/mbak) tanpa memberikan perhatian lagi. Semua diserahkan sebagaimana menyerahkan pendidikan kepada sekolah internasional yang mahal dan bergengsi serta multi language. Ini bukan generalisasi (steretotif) hanya potret (snapshot). Semoga kita dijauhkan dari kondisi seperti diatas dan memberikan perhatian kepada generasi penerus kita.
Membaca adalah salah satu cara untuk membuka wawasan. Dengan membaca kita bisa belajar. Seorang bijak pernah berkata “Pemimpin yang baik adalah seorah pembaca, sedangkan seorang pembaca belum tentu pemimpin yang baik“. Hampir semua pemimpin yang terkenal adalah seorang pembaca buku. Dari membaca buku, kita akan mendapatkan lebih banyak ilmu.
Mencontoh. Pengalaman pribadi saya, perlu orang terdekat yang memberikan contoh budaya membaca buku. Dari hal sepele, memberikan contoh selalu membaca disetiap kesempatan yang ada (waktu luang). Kemudian menunjukkan sesuatu melalui buku dengan mengajak untuk membaca bersama, merupakan cara yang cukup efektif untuk menularkan kebiasaan membaca. Itu merupakan pengalaman pribadi saya. Mungkin banyak cara yang lain yang dipakai untuk menularkan kebiasaan membaca. Mungkin Anda juga mempunyai cara sendiri, silakan dibagikan.
Berimajinasi. Dengan membaca juga membantu kita untuk berimajinasi. Dengan bacaan yang sama setiap orang akan mempunya imajinasi yang berbeda dan juga interpretasi yang juga bisa berbeda. Inilah yang menjadikan membaca adalah latihan untuk menjadi kreatif.
Tantangan. Untuk saya pribadi, sedang menantang diri saya untuk paling tidak membaca buku dalam satu bulan. Bagaimana dengan Anda?
Baru saja merasakan bagaimana enaknya membuat website yang responsif. Dari register domain sampai membuat isi-nya bisa menggunakan wizard. Semua bisa dilakukan secara overnight (literaly).
Dulu, sewaktu jaman masih memakai frontpage-nya microsoft ataupun dreamweaver… membuat responsif website itu “sesuatu sekali”. Yah mungkin sekarang jaman sudah berubah. Alat-alat pendukung jauh lebih baik dan mudah dari tools development yang jauh lebih visual (WYSIWYG beneran), internet yang lebih kenceng…. jaman dulu masih pakai modem euy… paling hebat 56K pakai telkomnet instan biar gak regsitrasi
Tantangan sebernarnya sekarang adalah content…content….content…