Mewaspadai Lawan

Siapa yang menyangka bahwa ojek akan mejadi lawan dari perusahaan taxi?

Individu vs Grup. Kalau kita lihat secara langsung secara fisik, tidak mungkin ojek (yang merupakan individu dan bukan moda transportasi) akan menjadi lawan taxi apalagi perusahaan taxi. Ojek menjadi alternatif dari alat transportasi yang ada, jadi akan dipakai karena memang yang utama tidak ada atau tidak memungkinkan. Dengan segala remeh-temehnya (harga seenaknya dll), orang memakai jasanya karena terpaksa. Ojek menjadi alternatif dan ada dalam kehidupan sehari-hari. Bagi beberapa orang bahkan ojek menjadi moda transportasi utama karena dia sudah tahu siapa tukang ojek-nya (baca: langganan). Jadi untuk menjadi ojek yang “enak” bagi beberapa orang harus melewati beberapa macam syarat yang dia tentukan, dengan cara langganan ojek, semua itu bisa didapat.

Ojek adalah individu-individu yang memberikan service-nya sendiri-sendiri dengan tarif seenaknya sendiri, karena memang tidak ada yang mengatur. Sementara itu, tengoklah taxi. Moda transportasi yang dimiliki oleh sebuah koroporasi yang memiliki aset dan diatur oleh regulator (organda, dephub). Secara kasat mata, ojek akan mustahil mengalahkan taxi dengan dukungan ekosistemnya termasuk dibelakangnya group perusahaannya.

Zaman Informasi. Dengan perkembangan zaman informasi dan teknologi sekarang ini, membuat orang menjadi mudah dalam mencari informasi dan mendapatkan informasi. Menurut Google, tidak ada lagi “Zero moment of truth“, orang tidak lagi terkejut dengan sebuah fakta dalam membuat keputusan karena memang sudah tahu persis luar-dalam, kiri-kanan dan atas-bawahnya. Kondisi ini menjadikan fenomena baru di sosial media, orang berbagi sewaktu jalan-jalan, mau makan, ada acara bersama, dan lain-lain. Kebiasaan berbagi menjadi merambah ke dunia yang lebih luas yaitu bisnis. Orang berbagi rumahnya untuk disewakan menjadi seperti hotel dan peluang ini diambil oleh AirBnB dan sukses menjadi perusahaan yang besar. Sharing ini kemudian menjalar juga ke dunia transportasi melalui UBER dengan membuat orang berbagi mobilnya menjadi seperti “taxi”. Banyak lagi diluaran sana sharing ekonomi menjadi “bisnis” tersendiri. Dan tren ini terbawa ke dunia perojekan juga. G0-jek dengan ide brilian membawa solusi untuk “bisnis” ojek sehingga membuat orang dengan mudah memakainya. Serta membuat orang juga tidak malu menjadi tukang ojek. Ini yang banyak orang disebuat “disruption” di dunia ojek.

Pengguna menjadi Raja. Dengan kekuatan “digital disruption”  (menggunakan media digital) dan pengguna yang cukup banyak membuat ojek jadi bukan lagi individu-individu, tapi adalah kekuatan kolektif melalui Go-jek sebagai pemersatunya. Dan disambut oleh antusiasme pengguna dengan memakainya sehingga ojek kemudian menjadi pilihan utama orang-orang untuk pergi jarak dekat atau menghindari kemacetan. Pengguna menjadi raja dengan bebas memilih ojek dan mulai meniggalkan taxi sebagai pilihan utama. Hal ini menjadi “ancaman” bagi taxi, karena pengguna banyak beralih. Bahkan sempat terjadi friksi antara taxi dan ojek karena hal ini. Selama ini ojek yang kecil bukan siapa-siapa bagi taxi dan perusahaan taxi tapi dengan kekuatan “digital disruption” serta “sharing economy” menjadi musuh bagi yang besar.

Waspadai Musuhmu. Jadi sekarang ini, tidaklah mustahil disekitar kita yang sekarang ini kita anggap bukan siapa-siapa atau mungkin mustahil untuk mengancam; bukan berarti tidak mungkin mengancam kita. Dengan cycle bisnis yang mulai memendek, serta kekuatan “digital disruption” dan “sharing economy” kita harus selalu belajar dan waspada. Siapa tahu yang ada disekitar anda itulah yang akan mengancam anda (baca: profesi anda). Bersiaplah untuk mempunyai kemampuan beradaptasi karena di zaman now: “Beradaptasi atau Mati“!

 

 

Advertisement

Tontonanku: YouTube

“Pah, aku nonton YouTube ya”

itu adalah password untuk nonton YouTube di rumah saya. Jadi anak-anak harus self declare kalau mereka akan menonton YouTube dan orang tuanya akan mengontrol secara random yang ditonton.

Kids Zaman Now lebih suka nonton YouTube dibanding TV. Kenapa ya?

Anak-anak senang sekali nonton TV sebelum mengenal YouTube. Mereka akan beralih ke YouTube (setelah tahu apa itu YouTube) karena mereka sendiri yang kontrol materi yang akan ditonton. Kalau lagi senang nonton “My Little Poni” terus-terusan nonton similar content (seri yang lain) sampai bosan.

Tantangan untuk orang tua adalah materi yang ditonton itu tidak disensor dan bisa disusupi apa aja. Jalan terbaik adalah memberikan pengertian kepada anak dan menanamkan trust. Meminta mereka untuk bercerita content apa saja yang ditonton utk check and recheck.

 

Simalakama

“Bagai makan buah simalakama”

Pribahasa ini sering menjadi rujukan untuk suatu kondisi dimana kita akan selalu salah jika menghadapi suatu pililhan. Jadi memang pribahasa ini sangat tidak mengenakkan.

Demikian juga kalau kita sudah berhadapan dengan asuransi terutama kesehatan. Ada kalanya kita akan mengalami mirip seperti peribahasa itu. Jika Anda peserta Asuransi kesehatan untuk rawat jalan & rawat inap dengan menggunakan kartu (biasanya asuransi kumpulan dari perusahaan) bisa jadi mengalami kondisi terjepit.

Pilihan sulit. Ada kalanya dokter akan merekomendasikan untuk rawat inap (dengan tentunya serentetan proses diagnosa sebelumnya, kemudian kita dihadapkan pada pilihan untuk ikuti saran dokter tersebut dengan tentunya akan memberikan pertanyaan klarifikasi mengapa hal tersebut dibutuhkan. Dengan adanya asuransi kesehatan rawat inap dan setelah pertimbangan akan rekomendasi dokter, kita akan mengikuti saran dokter tersebut. Dengan logika, dijamin asuransi dan rekomendasi dokter, apakah hal tersebut cukup sebagai sarat untuk memenuhi klaim? Tentunya tidak! Ada kalanya asuransi menolak klaim kita dengan alasan bahwa kurangnya indikasi medis untuk melakukan rawat inap sedangkan dokter dengan segala pengalamannya lebih tahu bagaimana kondisi pasien saat rekomendasi tersebut diberikan. Jadi peserta akan mengalamai kondisi jika tidak mengikuti rekomendasi yang diberikan dan terjadi apa-apa yang lebih jelek, akan disalahkan. Sedangkan begitu klaim ditolak karena ‘salah’ peserta dimana kondisi itu belum layak rawat inap.

Data. Antara dokter dan analis klaim memiliki gap yang hanya dijembatani dengan data. Masing-masing memiliki cara pandang berbeda dengan data yang sama, akhirnya yang jadi korban adalah peserta asuransi. Akan menjadi lebih repot untuk menjembatani antara keduanya. Masing-masing ‘merasa’ benar dan kembali pesertalah yang akhirnya karena ‘kelemahannya’ harus menjembatani gap ini.

Jadi kalau Anda sudah taat aturan, tidak ada kebijakan yang dilanggar, kemudian sudah cukup cerdas untuk mempertanyakan semua diagnosa dokter; mengikuti rekomendasi dokter belum tentu klaim anda diterima.

Paradox

Definition of paradox. Menurut Merriam-Webster dictionary [1]:

  1. :  a tenet contrary to received opinion

  2. 2a :  a statement that is seemingly contradictory or opposed to common sense and yet is perhaps true

    b :  a self-contradictory statement that at first seems true

    c :  an argument that apparently derives self-contradictory conclusions by valid deduction from acceptable premises

 

:  one (as a person, situation, or action) having seemingly contradictory qualities or phases

Boleh diartikan bahwa paradok itu suatu statement/premis yang saling kontradiksi (mengandung unsur kebenaran dan salah secara bersamaan).

Matematika dan Paradok. Paradok banyak ditemui di dunia matematika. Hal ini banyak berhubungan dengan logika. Ada premis yang akan saling berkontradiksi. Contoh Paradoks Zeno: Achilles dan Kura-kura. Achilles berlomba dengan kura-kura. Sang kura-kura boleh berlari 1 km di depan Achilles dan Achilles berlari santai dengan kecepatan 2 kali kecepatan kura-kura. Siapa yang akan menang lari? Menurut Zeno, Achilles tidak akan pernah menyalib sang kura-kura. Karena itulah kura-kura yang menang. Tetapi 2000 tahun kemudian (dengan adanya konsep ketaterhinggaan) dibuktikan bahwa Zeno salah.

Zaman Media Sosial. Di zaman media sosial, dimana privasi setiap orang dengan sadar dan tanpa paksaan diumbar, banyak sekali paradok yang bisa kita lihat. Status di media sosial, cukup banyak contoh paradok.

Contohnya: Status di media sosial “Saya tidak suka pamer” padahal ditulis di dinding media sosial yang bisa dilihat oleh semua orang seantero jagad media sosial.

 

 

References: [1] https://www.merriam-webster.com/dictionary/paradox

QR Code Payment

google_search_-_albertus_hendro

Definisi. QR (Quick Response) Code adalah barcode 2 dimensi digunakan pertama kali di industri otomotif Jepang, merupakan label yang bisa dibawa lewat mesin dan memiliki informasi yang berhubungan dengan label tersebut. Jadi kalau barcode (berupa garis tebal tipis) yang dapat dibaca oleh mesin berisikan angka-angka, ditambahkan informasi lain jadilah QR Code ini. Sekarang ini barcode sudah banyak dikenal dan dipakai oleh industri untuk memberikan informasi SKU atau kode barang. Hampir semua kemasan makanan sekarang ini sudah ada barcode-nya. Untuk membacanya sudah banyak device yang dijual cukup terjangkau di pasaran. Bahkan ketika kita membayar di kasir convenience store a.k.a *mart itu, mbak kasirnya memindai kode barcode tersebut. Kemudian aplikasi POS-nya akan menampilkan harga dan juga deskripsi barangnya. Barcode memiliki keterbatasan yang hanya berupa label, untuk itulah QR code diciptakan. Penggunaan QR Code sekarang ini mulai meluas setelah diadopsi oleh indstri selain otomotif di Jepang. Banyak yang memakai QR code untuk menampilkan informasi yang banyak.

Design QR Code.  Kalau barcode hanya terlihat seperti garis-garis hitam dengan ketebalan yang berbeda-beda, QR code mulai banyak pilihannya. Sekarang ini desain QR Code bisa ditambahkan logo perusahaan sehingga bisa menjadi alat untuk promosi juga. QR Code berguna untuk menampilkan informasi yang lebih banyak dengan representasi seperti barcode.

QR Code payment. Di dunia fintech, sekarang ini QR Code juga dipakai sebagai salah satu media untuk melakukan pembayaran. Jadi merchant akan mencetak QR Code ketika pembeli akan melakukan pembayaran. Setelah dipindai, pembeli akan mengetahui detail transaksi yang akan dibayar. Jika setuju akan membayar, pembeli akan memproses pembayaran melalui aplikasi mobile yang sudah terhubung dengan akun untuk melakukan pembayaran tersebut. Bisa akun e-Wallet atau bahkan akun tabungan (kartu debit) melalui mobile banking. Payment method semacam ini jadi mungkin karena sekarang ini mayoritas pengguna handphone memiliki kamera. Di Taiwan atau Cina, aplikasi chatting yang populer dan banyak dipakai sudah mengimplementasikan QR Code payment. Jadi pengguna hanya memakai aplikasi chatting tersebut. Cukup mudah karena sudah terintegrasi dan juga banyak merchant yang memakai cara pembayara ini.

Tantangan. Walaupun penggunaan smartphone dan handphone berkamera sudah sangat bayank, QR Code scanner belum menjadi default app di banyak HP. Pengguna harus mengunduh aplikasi tambahan untuk dapat memindai QR code ini. Jadi ini salah satu hambatan mengapa payment method jenis ini belum banyak dipakai. Selain itu kemampuan memindai QR Code tergantung dari tampilan QR Code sendiri. Jika ditampilkan di layar POS/EDC yang resolusinya kurang memadai, akan sulit bagi aplikai pemindai untuk menampilkan informasi yang terkandung dalam kode tersebut.

Peluang. Berkaca dari pengalaman di Cina atau Taiwan, aplikasi QR Code payment ini harus terintegrasi dengan aplikasi yang sering dipakai orang. Artinya kemudahan mempunyai fasilitas/metode bayar QR Code payment ini mejadi kunci akan dipakainya metode ini. Selain itu harus banyak merchant yang bisa menerima cara pembayaran ini. Kalau merchant punya aplikasi yang bisa memproses metode bayar ini dengan mudah, misalnya dengan HP yang dimiliki penjualnya maka akan lebih luas lagi penerimaan masyarakat akan cara bayar QR ini. Jadi kalau kita bisa beli gorengan atau teh botol di pinggir jalan bisa bayar pakai QR Code ini maka itu tanda bahwa metode ini sudah banyak diterima dan dipakai oleh masyarakat luas. Apakah Anda pernah membayar dengan metode ini?

Credit Union (CU) Mobile App

credit-union

Memberdayakan anggota untuk dapat menolong dirinya sendiri

Credit Union. Apa sih Credit Union? supaya lebih mudah, adalah sebuah koperasi (anggota yang berserikat dan berkumpul untuk mendapatkan manfaat bersama) dengan fokus pemberdayaan anggota untuk dapat menolong dirinya serta mengubah cara pandang atas kehidupan melalui pendidikan. Jadi kalau CU tidak memberikan banyak program pendidikan akan seperti koperasi pada umumnya yang akan cuma berorientasi pada simpan dan pinjam saja (uang semata).

Pemberdayaan Anggota. CU lebih fokus pada memberdayakan anggota dengan pendidikan. Orang akan berubah jika cara pandangnya diubah. Untuk itu CU percaya bahwa pendidikan akan mengubah anggotanya. Anggota akan berdaya dan lebih menghargai masa depan dengan mulai mempersiapkannya sendiri. Dimulai dari program pendidikan dasar yang memberikan nilai-nilai CU, pola kebijakan produk dan layanan serta bagaimana mengatur keuangannya sendiri sehingga anggota bisa menabung dan juga bertanggung jawab jika memiliki pinjaman. Menyadarkan anggota itu merupakan program berkelanjutan, sehingga di CU diberikan pelatihan-pelatihan lain seperti Literasi Keuangan, kewirausahaan, dll.

Walk the talk. Mekanisme CU seperti koperasi, semua anggota adalah pemilik lembaga dan kekuasaan tertinggi ada di rapat anggota. Semua anggota mempunyai kewajiban untuk saling mengingatkan jika ada anggota yang lalai dalam membayar kewajiban angsuran pinjaman. CU sangat mencerminkan semangat gotong-royong, saling menolong dan kemandirian. CU percaya bahwa yang bisa mengubah nasih manusia adalah dirinya sendiri. Untuk itu semboyan “membantu anggota untuk menolong dirinya sendiri” tidak menjadi retorika belaka tapi merupaka “walk the talk” dari semangat CU.

Digital Era. CU juga harus modern. Salah satu tokoh dalam pengembangan CU adalah Rm. Fredy Rante Taruk, Pr. percaya bahwa CU juga harus beradaptasi dengan perkembangan jaman terutama tantangan masyarakat urban (seperti di Jakarta) berbeda dengan masyarakat di daerah. CU harus mampu memberikan pelayanan yang profesional. Salah satu bentuk adaptasi terhadap perkembangan jaman adalah dibuatnya aplikasi Android untuk CU Pelita Sejahtera (CUPS). CUPS adalah CU yang dibentuk di wilayah Blok Q Jakarta Selatan. Aplikasi mobile ini memungkinkan anggota untuk mengecek informasi saldo pinjaman dan simpanannya serta mengetahui perkembangan CUPS. Selain itu anggota juga bisa melakukan simulasi pinjaman untuk mengetahui jumlah angsuran serta meliha daftar anggota yang mempunyai bisnis sehingga dapat dihubungi jika dibutuhkan.

Aplikasi CUPS Mobile ini bisa diunduh di Google Play.

google_play-290x100

 

Tantangan Membangun Keluarga dalam Budaya Urban

Budaya Urban - hak cipta pada yang memilikinya
Budaya Urban. [sumber silakan cek image source]

Jadilah pemberi nilai pada kehidupan

Prolog. Tulisan ini adalah penyerapan saya selama mengikuti salah satu sesi dalam rangka Rapat Kerja (Raker) Dewan Paroki Pleno (DPP) Santa Perawan Maria Ratu (SPMR) Blok Q Jakarta Selatan, di Wisma Erema Puncak pada tanggal 1 September 2016. Tulisan ini dibuat sangat telat karena penulisnya (sok) sibuk.

Sesi kali ini dibawakan oleh Rm. Mudji Sutrisno SJ sebagai salah satu tokoh kebudayaan yang sangat dihormati di tanah air ini. Hampir semua pengalaman beliau berhubungan dengan kebudayaan. Beliau bercerita bahwa baru saja pulang dari Malang menghadiri dan memberikan pidato kebudayaan dalam acara pesta budaya Singosari (Malang, Jawa Timur) dan Singaraja (Bali). Mereka mencoba mencari akar budaya dan kesamaan nama singo/singa.

Dalam sesi yang sangat berat kali ini Rm Mudji akan membahas tantangan membangun keluarga dalam himpitan budaya urban tentunya dari perspektif kebudayaan.

Disorientasi Nilai. Sekarang ini cukup sering kita melihat bagaimana pergeseran nila-nilai terjadi di masyarakat. Setiap hari kita melihat bagaimana nilai-nilai baik telah bergeser, seolah-olah yang baik menjadi luar biasa. Korupsi menjadi masif terjadi karena pergeseran nilai-nilai ini. Bahkan Pancasila yang dirumuskan oleh Bung Karno sebagai bagian dari rumusan kebudayaan telah mengalami reduksi dan pergeseran. Salah satu nilai dari Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab telah bergeser seiring dengan perkembangan cara berpikir orang bahwa segala sesuatu harus diukur dengan uang. Telah terjadi reduksi nilai-nilai estetik karena harus diukur dengan uang. Uang telah menjadi “berhala” yang baru. Dipuja oleh kebanyakan sebagai alat ukur. Ditambah dengan semangat yang sekarang banyak dianut oleh kebanyakan orang yaitu konsumerisme, telah menjauhkan nilai keadilan dan juga kemanusiaan yang beradab. Orang akan cenderung untuk mengikut jargon “I consume therefore I exist” (ICTIE) melupakan bahwa penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan juga perlu diperhatikan.

Kekuatan informasi/digital. Dengan adanya jaman informasi seperti sekarang ini yang sudah tidak terbendung, banyak orang-orang dengan sukarela dan senang hati mempersilakan budaya baru untuk masuk kedalam kehidupannya. Dengan tuntutan budaya ICTIE ini, dengan mudahnya guru-guru baru dalam kehidupan kita telah tumbuh. Bagaimana generasi-generasi sekarang kehilangan arti “guru” yang sebenarnya. Guru yang baik adalah yang memberikan nilai-nilai kehidupan terhadap apa yang diajarkan bukan sekedar mengajarkan hal-hal yang ada seperti yang dilakukan oleh Google atau sumber informasi digital lainnya. Telah terjadi reduksi nilai-nilai belajar, orang hanya mengejar skill tetapi bukan menghayati bahwa belajar adalah proses bukan hasil.

Belajar itu proses. Orang jadi lupa bahwa dalam proses belajar itu ada juga proses bertutur dan bercerita mengenai sejarah. Bagaimana nilai-nilai itu ada dan terbentuk. Sekarang ini orang cenderung untuk ahistoris (melupakan sejarah) karena tidak mau/malas melihat proses. Semua harus instan untuk mendapatkan hasil. Ini yang membuat budaya instan ini sekarang menjadi suatu yang keniscayaan didalam kehidupan kita. Telah terjadi juga reduksi terhadap proses itu sendiri, yang berimplikasi terjadi budaya ahistoris.

Bagaimana kita menghadapi ini? Pertanyaan ini menjadi sangat valid dengan kondisi yang terjadi sekarang ini (yang dijelaskan diatas). Sebagai bagian dari orang-orang yang hidup dalam budaya urban ini, tentunya ada beberapa hal yang bisa kita lakukan sehingga kita dapat kembali menemukan kehidupan yang selaras dan seimbang serta tidak terbawa dalam budaya urban.

Sintesis dan Osmosis. Sebagai makhluk pembelajar, tentu kita bisa belajar melihat nilai-nilai (tesis-tesis) yang baik bagi kehidupan kita. Menyaring kembali nilai-nilai yang ada dan memberikan nilai-nilai baik sehingga menjadi tesis yang baru yang bernilai bagi kemanuasiaan. Memegang teguh prinsip hidup yang baik adalah suatu keharusan, tetapi tetap fleksibel dalam menjalankan prinsip hidup tersebut. Terkadang cara-cara pelaksanaan harus menjadi lebih kreatif.

Kehidupan spiritual berkelanjutan. Dalam kebudayaan urban, hidup menurut pasar (mengejar ambisi pribadi/bekerja) dilakukan oleh manusia dari Senin-Jumat (selama hari bekerja). Hidup spiritual itu hanya dilakukan sewaktu (Sabtu/Minggu) ketika ritual agama/spritualitas dilakukan. Kehidupan spritiual itu harus berkelanjutan dan harus “dipaksakan” sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Budaya urban telah memisahkannya, padahal kehidupan spiritual itu adalah proses dimana kita kembali kepada nilai-nilai sakral akan kehidupan sehingga hidup akan menjadi lebih bermakna. Kehidupan itu jauh lebih dalam dari sekedar mencari nafkah dan mengejar hal-hal duniawi. Manusia telah menjadi mahluk yang mulia dengan kemampuan memberikan makna pada kehidupannya. Jika kehidupan tidak bermakna dan bernilai akan menjauhkan manusia dari kodratnya, dia menjadi fauna. Human is meaning seeking animal. Be human not animal. Untuk itu lakukan dan berikanlah waktu hidup Anda untuk melakukan hening dan memberikan nilai spiritual kepada hidup Anda dan menemukan kembali makna yang lebih dalam hidup Anda.

Ingin Cepat Kaya

Siapa sih yang tidak ingin kaya? Hampir semua orang ingin kaya, punya uang banyak dan kalau bisa tidak usah kerja keras. Kalaupun harus berinvestasi maka harus cepat menghasilkan uang dengan cepat. Kalau menabung di bank bunganya kecil ditambah dipotong uang administrasi. Kemudian kalau investasi deposito lebih besar dibandingkan menabung tapi masih kecil juga bunganya. Investasi reksadana, belum dikenal luas, apalagi saham. Investasi langsung lewat usaha yang nyata, resikonya lebih besar dan juga kurang cepat hasilnya.

Secara hukum orang Indonesia mempunyai agama. Semua berusaha untuk mengikuti ajaran agamanya supaya hidupnya lebih terjamin dikemudian hari. Jadi agama itu termasuk investasi masa depan. Jika kita melihat pemuka agama (atau yang secara kasat mata sangat agamis), maka akan lebih percaya kepada orang tersebut karena memang kita adalah orang yang beragama.

Dua hal diatas sering dieksploitasi oleh oknum-oknum yang tahu persis kondisi orang-orang kita. Kisah berikut ini adalah kisah nyata, hanya namanya sudah disamarkan dan sebisa mungkin tidak menyinggung SARA.

Tersebutlah seseorang yang datang ke sebuah desa di wilayah kecamatan di lingkup sebuah kabupaten di daerah Lampung. Orang in terlihat sangat agamis dan sangat mudah bergaul. Dan orang ini mendirikan suatu koperasi simpan pinjam yang berdasarkan skema agama (jadi tidak ada konsep bunga). Supaya tidak menyudutkan sebut saja Koperasi Kredit (Kopdit) Mandini Raja (bukan nama sebenarnya). Kopdit ini kabarnya membeli Ruko dan membangun kantornya serta merekrut pegawai. Para pegawainya memakai dasi serta membawa laptop. Keren lah, Kopdit dimiliki orang yang sangat terlihat santun dan agamis serta memiliki kantor yang bagus dan karyawan yang keren-keren. Mereka menawarkan produk simpanan (penghimpunan dana) dengan skema yang sangat keren, yaitu jika menyimpan dana sebesar Rp. 5 juta akan mendapat hadiah langsung TV (produk dari Tiongkok) seharga 750 ribu serta dalam jangka waktu 3 bulan mendapatkan 150 ribu diakhir periode. Ditengah periode mendapatkan bonus bingkisan THR paket jika diuangkan bernilai 100 ribu. Totalnya memberikan 1 juta dalam 3 bulan untuk dana 5 juta (pengembalian 20% dalam 3 bulan). Luar biasa! Janji mereka terbukti bagi orang-orang angkatan awal yang menempatkan dana 5 juta. Semua mendapatkan hasil seperti janjinya. Dan ketika jatuh tempo, banyak yang ditwarkan untuk menempatkan kembali dengan menambah dananya. Karena mereka sudah membuktikan bisa memberikan hasil menggiurkan.

Semakin besar dana ditempatkan, semakin besar hasilnya. Menempatkan dana 50 juta dalam jangka waktu 1 tahun, akan mendapatkan  hadiah langsung 1 buah motor matik baru gres dari dealer. Akan lebih luar biasa kalau menempatkan dana 800 juta dalam waktu 2 tahun akan mendapatkan bonus awal penempatan 1 buah mobil Toyota Avanza gress dari dealer. Luar biasa!!! Entah berapa besar uang akan dijanjikan akan didapatkan jika akhir periode dari uang-uang tersebut jatuh tempo.

Yang lebih luar biasa lagi, ternyata para pegawai kopdit tersebut harus ikut menempatkan dana (sebagai saham?) sebesar 25 juta untuk bisa menjadi pegawainya. Dan mereka mendapatkan target untuk merekrut nasabah-nasabah baru. Sangat hebat pendirinya, mampu merekrut pegawai dalam jumlah relatif banyak.

Mereka ditengarai berhasil mengumpulkan dana milyaran rupiah. Ketika ditanya apakah mereka meminjamkan dana tersebut? Ternyata tidak! Kabarnya mereka menginvestasikan sendiri uang-uang itu melalui usaha si pemilik/pendiri. Kono kabarnya pendirinya memiliki usaha yang banyak di pulau Jawa. Bagi orang berpikiran normal, apakah hal itu mungkin? Bagi mereka yang menempatkan dananya, jawabnya mungkin! Bahkan ada yang percaya bahwa pendirinya memiliki usaha di luar negeri (rumor entah siapa yang menciptakan) bahkan simpanannya di bank Swiss (terkenal dengan private bank-nya) dan usahanya forex (entah siapa yang tahu).

Setelah 1 tahun berjalan mulailah wanprestasi seiring dengan berkurangnya nasabah baru yang ikut bergabung. Panik, rebut dan porak poranda impian para pemilik dana. Beberapa orang melaporkan ke Polsek setempat, yang akhirnya menangkap pemilik kopdit tersebut dan menahannya. Dan akhirnya diketahui bahwa pemilik juga pernah ditangkap oleh polisi di daerah jawa dengan kasus yang sama.

Jadi kalau kita lihat dari kasus ini, orang-orang yang dieksploitasi dan yang mengeksploitasi keserakahan masing-masing. Untuk itu kembalilah kepada yang disebut mantra dalam kehidupan ini “If it’s too good to be true then it’s too good to be true”.

(mulai menulis ini di bulan Juli, eh sudah ada kasus Dimas Kanjeng yang kurang lebih sama)